“Dia pasti salah karena dia hanya sendiri lawan 8 orang,” kata Anggrek. Maya mengernyit dahinya berusaha memahami maksud Anggrek.
“Maksudmu, emang Lini sudah pasti salah ya cuma gara-gara gak ada pendukung?” tanya Maya ke Anggrek sambil memandangi laptopnya.
“Ya pastilah, yang namanya mayoritas sudah pasti benar dan menang dong,” sanggah Anggrek tersenyum sinis terlihat gigi Zebranya.
“Kalau ternyata Lini punya bukti yang kuat bahwa dia gak salah berarti gak bisa dilihat dari jumlah kan?” ujar Maya sambil mengambil tahu goreng dari tangan Anggrek.
“Ah aku yakin Lini salah karena yang gak suka sama dia banyak. Presiden bisa menang pemilihan di Indonesia saja karena suara terbanyak kan? Kalau gak begitu mana bisa jadi presiden di Indonesia,” kata Anggrek meyakinkan Maya.
Hampir saja Maya keselek tahu goreng, dengan wajah yang kesal “Gak bisa dibandingin begitu dong, logika sesat itu. Konteksnya saja beda. Aturannya memang kalau mau jadi presiden harus menang dengan suara terbanyak. Kasus Lini bukan pemilihan presiden. Kalau dia dituduh salah buktinya apa. Harus jelas bukti-buktinya. Hati-hati, Jangan sembarang nuduh loh, bisa dianggap fitnah”.
Ulasan:
Argumentum ad Populum dan Irrelevant Conclusion
Suara Mayoritas Kebenaran dan Kemenangan Absolut
Argumentum ad populum adalah salah satu jenis sesat pikir (fallacy) yang terjadi ketika seseorang menggunakan pendapat mayoritas atau pandangan umum sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa sesuatu itu benar. Argumen ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan tidak didasarkan pada bukti atau logika yang valid, melainkan hanya karena banyak orang mempercayainya atau menerimanya. Biasanya argumen ini digunakan dalam retorika persuasif, politik, atau iklan untuk memengaruhi opini tanpa dasar logis yang tepat dengan mengandalkan emosi atau keinginan serta keyakinan. Hal ini digambarkan dalam kisah di atas, tokoh bernama Anggrek tengah berargumen dengan tokoh bernama Maya dan membahas tokoh Lini. Anggrek berargumen Lini adalah pihak yang salah, alasannya hanya karena Lini berseberangan dengan pihak yang lebih banyak. Anggrek berpendapat pihak yang lebih banyak lah yang benar dan dia menyamakan logika seperti itu ada dalam mekanisme Pilpres.
Selain itu, tulisan di atas juga memuat Irrelevant Conclusion sebagai salah satu kerancuan relevansi. Hal ini terjadi jika sebuah argumen yang sesungguhnya dimaksudkan untuk mendukung sebuah kesimpulan tertentu, namun diarahkan dan digunakan untuk membenarkan sebuah kesimpulan yang lain (Sidharta, 2020).
Anggrek mengambil suatu argumen dari suatu premis yang memang valid tapi untuk mendukung keadaan/kasus lain yang faktanya berbeda sehingga seakan-akan memiliki kesimpulan/argumen yang sama,“Ah aku yakin Lini salah karena yang gak suka sama dia banyak. Presiden bisa menang pemilihan di Indonesia saja karena suara terbanyak kan? Kalau gak begitu mana bisa jadi presiden di Indonesia,” kata Anggrek meyakinkan Maya.
Irrelevant Conclusion timbul karena seseorang/sekelompok orang tidak menelusuri fakta-fakta yang ada dari suatu peristiwa dan tidak memahami persoalan yang terjadi sehingga mereka ‘mencocokkan’ keadaan satu dengan keadaan yang lain untuk memperoleh kesimpulan yang mereka inginkan tanpa adanya dasar atau logika berpikir yang sehat.
Referensi:
Sidharta, B.Arief. 2020. Pengantar Logika. Bandung: Refika Aditama.