Tulisan untuk Hari Ibu
Tiap Hari Ibu seperti sekarang ini, menjadi momen untuk saya merenung dan menghargai perjalanan
sebagai seorang ibu sekaligus pengacara professional. Tak dapat dipungkiri, hidup saya sering kali
penuh dengan tantangan dalam mengatur waktu antara keluarga dan pekerjaan.
Namun, saya selalu percaya, hari-hari yang saya lewati bersama dengan keluarga kecil dan tetap
menjalani karier sebagai pengacara, menjadi bentuk kebahagiaan yang sederhana dan penuh makna.
Cara Atur Waktu antara Keluarga dan Pekerjaan
Tak sekali dua kali saya disinggung soal membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Susah susah
gampang. Namun, saya selalu bersyukur memiliki keluarga yang sangat pengertian dan mengerti.
Quality time, itu kuncinya! Bertanya kabar, sedang apa, atau bahkan kata-kata seperti “Miss you”
dan “Miss you too” selalu ada. Bahkan, saya dan anak terkadang menggunakan bahasa lucu seperti
“Bundi lagi lapain? (Bunda lagi ngapain?)”. Kami juga sering menyempatkan diri untuk makan siang
bareng atau dia terkadang antar atau jemput saya ketika harus bekerja di luar kota atau luar negeri.
Cara sederhana yang terus membuat kita selalu ada satu sama lain.
Saya juga merasa beruntung memiliki suami yang mendukung karier saya. Ketika saya sibuk dengan
pekerjaan, dia siap menggantikan saya dalam urusan rumah tangga atau anak.
Menjalani dua peran yang berbeda, saya sadar tiap peran memiliki tuntutannya sendiri. Di kantor,
saya adalah atasan dan pengacara professional. Di rumah, saya adalah seorang istri dan ibu.
Bertemu dengan anak, saya harus bisa melepas peran sebagai pengacara. Saya berusaha lebih
santai. Saya biarkan anak saya yang berbicara, mengeluarkan pendapatnya, dan berbagi cerita. Kami
sering berdiskusi tentang hal-hal atau masalah yang ia hadapi. Saya juga belajar mendengarkan
tanpa langsung memberi solusi atau keputusan. Ini penting, saya ingin anak saya merasa
didengarkan dan dihargai.
Tantangan Seimbangkan Waktu antara Karier dan Keluarga
Salah satu tantangan terbesar saya adalah waktu. Sejujurnya, ketika sedang cuti atau liburan, saya
masih tetap terikat dengan pekerjaan. Handphone selalu dalam keadaan stand by ketika saya sedang
bersama keluarga.
Ada satu momen ketika saya sedang berlibur, di hotel pun saya masih tetap membuka laptop untuk
bekerja. Padahal, ini waktu yang tepat untuk beristirahat dan menikmati waktu bersama keluarga.
“Kok Bunda cuti masih kerja?” tanya anak saya pada suatu momen.
Meskipun tidak marah, saya bisa merasakan bahwa dia merasa kurang mendapat perhatian. Apalagi
ketika ia sudah menyebut saya, “busy woman!” Tapi, justru saya bersyukur. Artinya, dia
membutuhkan perhatian saya. Kalau tidak mengeluh, berarti dia tidak peduli pada saya kan?
Sejak dia kecil, saya terkadang membawanya ke kantor. Saya ajak dia duduk di kursi saya dan
berkata, “Now, you are the boss!” Dia merasa bangga ada di posisi itu dan saya berikan kebebasan
kepadanya untuk menggambar atau menulis di meja kerja saya. Dari situ, saya ingin secara tidak
langsung menyampaikan bahwa pekerjaan saya bukanlah suatu beban yang membuat saya jauh
darinya tapi suatu panggilan kewajiban yang harus saya jalani. Pengertian-pengertian ini tidak saya
katakan langsung, tapi menurut saya, dia bisa merasakannya.
Motivasi Kerja Usai Berkeluarga
Tak dapat dipungkiri, menjalani dua peran yang berbeda ini sangat melelahkan. Namun, ketika
melihat dukungan dari pasangan dan anak hingga saya yang selalu kembali pada tujuan hidup.
Tapi, di Hari Ibu ini, saya ingin mengungkapkan satu motivasi lainnya. Sebagai seorang ibu, saya
merasa tugas saya tidak hanya membesarkan anak, tapi juga memberikan contoh bagaimana kita
bisa memberikan dampak positif bagi orang sekitar.
Saya bahagia melihat orang berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Itulah yang
membuat saya bercita-cita untuk memiliki anak asuh. Cita-cita itu mungkin ada sejak saya usia 26-27
tahun, saat masih menjadi mid level associate.
Sejak awal, saya sudah memutuskan untuk menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk membantu
pendidikan anak-anak yang kurang beruntung. Saya mulai menabung untuk anak-anak asuh, dan
sekarang mereka sudah banyak yang sudah lulus kuliah dan mulai bekerja.
Melihat mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri dan memiliki masa depan yang lebih cerah
adalah kebahagiaan yang tak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Bagi saya, anak-anak asuh ini
bukan sekadar orang yang saya bantu, mereka sudah menjadi bagian dari keluarga saya.
Pada akhirnya, yang saya lakukan bukan hanya untuk karier atau untuk memenuhi peran saya
sebagai ibu, tetapi saya ingin anak saya tumbuh dengan pemahaman soal tanggung jawab dan
pemahaman bahwa kita bisa memberi dampak bagi sekitar.
Terakhir, Selamat Hari Ibu untuk para ibu di luar sana. Siapapun kita, seberapa banyak peran pun
yang kita lakukan, semoga kita selalu diberkahi kekuatan dan cinta untuk menjalaninya sepenuh
hati.*