“Sstt duduk sini kursinya masih kosong,” Erni melambaikan tangannya ke arah Melati untuk duduk di sebelahnya. Melati jalan perlahan menuju kursi yang ditunjuk Erni. Sembari duduk manis, Melati membuka laptopnya di dapur.
“Sibuk ya? Bawa laptop segala emang lagi disuruh apa sama si boss? Makan dulu nanti maag kamu kumat lagi seperti kemarin,” Erni mengunyah lahap nasi ayam pop.
“Bentar lagi. Deadline-nya jam 1 siang nih, gila deh baru email jam 11 disuruh kirim hasilnya jam 1. Berasa buat candi Prambanan, kudu selesai semalam. Kamu kelaperan ya? lahap bener makannya, pasti tadi gak sarapan,” Melati menunjuk nasi kapau yang menggunung milik Erni.
Erni hanya mengangguk pelan dan tersenyum malu, “Aku sebenarnya lagi gak enak hati mau curcol. Tapi kamu sibuk sih, masih mau dengerin gak?” tanya Erni.
“Aku biasa multitasking dong, cerita aja supaya gak mati penasaran. Ada apa gerangan?” Melati mengetik cepat di laptopnya.
“Aku mau kasih lihat chat WA ini ke kamu. Aku sudah kasih lihat ke beberapa orang juga sih, tapi aku ingin kamu lihat juga,” Erni membuka chat WA-nya dan menyodorkannya ke Melati.
“Ini chat WA apaan sih? Aku gak ngerti,” Melati berusaha membaca chat WA di HP Erni.
“Chat WA aku dan boss-ku, Mba Lindi. Kata-kata Mba Lindi kasar ya, aku berasa di-intimidasi. Bentar aku mau kasih lihat chat WA lainnya,” Erni menggulir layar HP-nya.
“Coba sini aku baca lagi chat WA tadi,” Melati menarik tangan Erni yang memegang HP. Erni langsung memperlihatkan chat WA-nya di muka Melati.
“Aku gak ngerti maksud kamu intimidasi apa? Aku bacanya ini instruksi kerjaan biasa. Bosku juga begitu. Salahnya dimana? tanya Melati dengan mimik serius.
“Mba Lindi itu sering WA aku after office hours. Menurutku sih gak proper ya kasih instruksi kerja after office hours,” Erni menarik tangannya mau mengambil gelas di sampingnya.
“Wait, bukannya pengalaman kerja kamu sudah lebih dari 10 tahun di perusahaan multinasional? Lagian kamu sudah tahu ini kantor akuntan mana ada kerja hanya office hours. Lihat saja aku kerja sambil makan siang. Selama 4 tahun aku kerja di sini memang begini ritme kerjanya. Di tempatku yang lama kurang lebih sama juga. Kalau gak hepi aku tinggal resign saja. Buatku gak ada yang aneh,” Melati menatap Erni bingung.
“Aku gak suka aja, perlu work life balance. Rumahku kan jauh nyupir sendiri, kalau sudah malam takutlah nyupir sendiri. Aku gak maulah kerja di kantor sampai malam, jam 5 sore pulang dong,” jawab Erni membela diri.
“Sebenarnya sih ya, kamu kan tinggal bilang ke Mba Lindi, kamu harus pulang karena ada urusan dan lanjutin kerjaan di rumah. Tapi kadang-kadang kerjaan perlu diselesaikan di kantor juga,” Melati menutup laptopnya.
“Aku masih ada chat WA lainnya mau aku kasih lihat ke kamu gimana perlakuan dia ke aku,” pinta Erni ke Melati.
“Sorry, aku harus ketemu boss-ku sudah jam 1 lewat dia tadi bilang mau ketemu aku jam 1.30 di ruangannya. Saranku kita sudah cukup senior, sudah tahulah risiko kerjaan kita dan aku pikir semua boss di sini bisa diajak bicara. Gak perlu deh kamu bicara ke mana-mana, gak enak juga kan kalau orang lain tahu. Bye!” Melati berjalan meninggalkan Erni.
Ulasan:
Anecdotal Evidence dan Argumentum ad Misericordiam (Appeal to Pity)
Anecdotal evidence adalah kerancuan berpikir dengan cara bersandar pada bukti-bukti yang sifatnya anekdotal yakni menggunakan pengalaman pribadi sebagai argumen yang valid tanpa disertai argumen-argumen masuk akal lainnya.
Di tengah kehidupan masyarakat, kerap kita menemukan orang-orang yang menggunakan argumentasi ini untuk membuat suatu kesimpulan dan memengaruhi orang lain. Lalu, bagaimana kita menghadapinya? Nah, untuk menyikapi subyektivitas argumen orang-orang seperti itu, kita perlu mengimbangi dengan menunjukkan bahwa argumen atau kesimpulan yang mereka bangun masih memerlukan pembuktian lebih jauh agar lebih obyektif. Seperti yang kita lihat dalam tulisan di atas, kita bisa lihat bagaimana tokoh Erni mencoba memengaruhi tokoh Melati agar bisa menerima argumentasinya tentang tokoh Lindi, yang menurut Erni telah melakukan tindakan intimidasi kepada dirinya. Padahal argumentasi yang dibuat oleh Erni amatlah subyektif seperti yang terlihat dalam percakapan ini : “Chat WA aku dan boss-ku, Mba Lindi. Kata-kata Mba Lindi kasar ya, aku berasa di-intimidasi. Bentar aku mau kasih lihat chat WA lainnya,” Erni menggulir layar HP-nya. Untungnya Melati menggunakan logika obyektif dengan jawaban seperti ini : “Aku gak ngerti maksud kamu intimidasi apa? Aku bacanya ini instruksi kerjaan biasa. Bosku juga begitu. Salahnya dimana? tanya Melati dengan mimik serius. Menariknya Erni berusaha terus memengaruhi Melati dengan argumen subyektif berikutnya “Mba Lindi itu sering WA aku after office hours. Menurutku sih gak proper ya kasih instruksi kerja after office hours,” Tokoh Erni tidak melengkapi argumennya mengapa boss-nya harus memberikan instruksi di luar jam kerja. Kemudian ditambah lagi dengan kalimat : “Aku gak suka aja, perlu work life balance”. Bagusnya, tokoh Melati selalu berusaha mengimbangi sesat pikir yang dibangun Erni dengan fakta bahwa apa yang dialami dan rasakan Melati adalah hal yang biasa dalam dunia kerja.
Selain Anecdotal Evidence dalam tulisan di atas juga ada sesat pikir yang dikenal dengan Argumentum ad Misericordiam (Appeal to Pity).Kerancuan ini terjadi jika rasa kasihan digugah untuk mendorong diterimanya atau disetujuinya suatu kesimpulan. Di sini terjadi pencampuradukan antara perasaan dan jalan pikiran orang sehingga orang terdorong untuk menyetujui atau tidak menyetujui sesuatu (Sidharta, 2020).
Dalam percakapan antara Erni dan Melati dapat terlihat Erni berusaha menunjukan bahwa dia adalah ‘korban’ dari Mba Lindi dan menuduh Mba Lindi hanya dengan memperlihatkan Chat WA tanpa memberikan konteks yang jelas. Bahkan Erni menggambarkan keadaannya yang malang dengan bekerja di kantornya yang sekarang untuk mengambil simpati dari Melati. Di satu sisi Melati bekerja keras di kantor yang sama dan terima konsekuensinya. Melati dalam percakapan tersebut terlihat kritis dalam menerima informasi dari Erni.
Playing victim sering terjadi biasanya karena seseorang ingin menghindari dari suatu kesalahan/tanggung jawab dan cenderung menyalahkan situasi/seseorang. Orang-orang bersikap ‘playing victim’ seringkali memanfaatkan emosi seseorang/sekelompok orang untuk melindungi dirinya atau mendapatkan keuntungan tertentu baik materil atau immateril. Situasi yang diciptakan seperti ini dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain atau skenario terburuk bisa merusak reputasi orang tertentu karena dianggap sebagai ‘penjahat’ bagi orang yang bersikap ‘playing victim’.
Referensi:
Sidharta, B.Arief. 2020. Pengantar Logika. Bandung: Refika Aditama.
Faiz, Fahruddin. 2024. Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika. Yogyakarta:MSJ.Press